Sunday, July 26, 2015

Larangan Kumandang Azan bentuk Diskriminasi di Tolikara





Salah satu pemicu insiden Tolikara, yakni pelarangan azan di masjid setempat. Hal ini dinilai sebagai poin utama untuk lebih menanamkan sikap toleransi antarumat beragama di kawasan tersebut.



“Jadi, kembali lagi pada mental masyarakatnya, menerima perbedaan dan toleran tidak,” ujar Ketua PBNU, Said Aqil Siroj, (24/7).



Bagi yang terbiasa mendegarkan adan dan suara orang mengaji melalui speaker masjid, imbuhnya, tidak akan merasa terganggu. Seperti yang ia contohkan di Banyuwangi, Jawa Timur. Ada masjid yang justru berdampingan dengan klenteng milik penganut kepercayaan Konghucu.



Masjid dan klenteng tersebut hanya dipisah oleh dinding pembatas mereka. Setiap kali speaker masjid mengumandangkan azan, tidak ada warga yang protes dan merasa tidak nyaman.



“Begitu juga yang terjadi di Tolikara. Dimana toleransi harus benar-benar berada pada posisi tinggi,” jelas Kiai Aqil .



Menurutnya, di dalam ajaran agama Islam sendiri dianjurkan untuk menghormati perbedaan agama. Lagi pula, tidak mungkin di dunia ini hanya ada satu agama.



Melihat keragaman yang ada di Indonesia bahkan dunia, ujar Said, seharusnya toleransi ini buka lagi sekadar kata-kata, namun sudah mendarah daging dalam diri setiap individu.



“Begitu juga dalam beragama, tentu setiap agama mengajarkan bagaimana pentingnya sebuah toleransi,” tegas Aqil .