Sunday, July 26, 2015

Bukti Pihak Asing Bermain di Tolikara





Insiden Tolikara, Papua pada Jumat (17/7) lalu diduga melibatkan campur tangan pihak asing. Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan ada lima orang warga negara asing dalam proposal kegiatan Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) Gereja Injili di Indonesia (GIDI) bertaraf nasional/internasional di Tolikara, Papua, yang berlangsung 15-20 Juli.



"Ada lima orang asing terdaftar di situ," ujar Badrodin di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (24/7).



Kepolisian mengetahui hal tersebut karena proposal GIDI juga diajukan ke Mabes Polri. Kegiatan GIDI itu mesti dilaksanakan berdasarkan izin Mabes Polri karena berskala internasional.



“Tetapi kelengkapan yang diminta untuk proposal itu ternyata tidak dipenuhi. Apakah (kelima warga asing) yang bersangkutan datang atau tidak (ke KKR GIDI di Tolikara), kami belum tahu,” ujar Badrodin.



Badrodin tidak menjelaskan siapa saja lima orang warga asing itu. Namun, kata dia, Kepolisian akan mulai menelusuri apakah kelimanya ikut hadir dalam KKR GIDI atau tidak.



Ketika ditanya apakah lima orang tersebut terlibat dalam insiden penyerangan dan pembakaran bangunan di Tolikara pada Hari Raya Idul Fitri Jumat pekan lalu (17/7), Badrodin belum bisa memastikan.



Berpotensi jadi Al-Qaeda versi Kristen



“Dengan adanya banyak cabang organisasi para pelaku, bahkan adanya jaringan di luar negeri maka dimungkinkan jaringan ini telah dan akan berkontribusi untuk melakukan perilaku teror,” kata peneliti terorisme Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya, Sabtu (25/7).



Ia menambahkan, bahkan bisa terjadi tindakan terorisme pada waktu dan tempat berbeda di waktu mendatang. Untuk itu, ia berpendapat jika tidak dihentikan dari awal, maka Gereja Injili di Indonesia (GIDI) berpotensi menjadi 'organisasi teroris besar' seperti Al Qaeda atau Jamaah Islamiyah.



“Tidak mungkin para pelaku teror lapangan bekerja tanpa pendanaan. Banyaknya massa, adanya minyak, adanya pemantik api, adanya peralatan sound system, adanya gerakan massa merusak bahkan keberanian melakukan teror di depan markas militer, sangat mungkin didorong oleh adanya unsur pendanaan untuk melakukan teror,” jelas Mustofa.



Terkit hal tersebut, menurutnya, perilaku kekerasan berupa pembakaran yang terjadi di dekat Koramil membuktikan para pelaku dan sutradaranya terbukti secara brutal melakukan penghinaan. Terlebih, kata dia, penghinaan tersebut juga melecehkan simbol negara tanpa rasa takut.