Monday, August 24, 2015

JK bilang, “Syariat Islam Aceh Tidak Boleh Bertentangan dengan Hukum Indonesia”





Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, walaupun Aceh dapat menerapkan syariat Islam seperti ditegaskan dalam Undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, tetapi aturan dan implementasinya tidak boleh bertentangan dengan hukum nasional.



"Aceh bisa mengambil itu (syariat Islam) selama tidak bertentangan dengan hukum nasional yang bersifat umum," kata Jusuf Kalla dalam lansir BBC, Jumat (21/08) siang di kantornya.



"Karena syariat itu boleh dibilang bukan menyangkut soal fundamental, seperti masalah pakaian, masalah hukum cambuk bagi penjudi. Yang lainnya tetap mengacu pada hukum umum (nasional)," tambanhnya.



JK mengatakan konstitusi RI memang tidak mengatur peraturan hingga sedemikian detail, seperti cara berpakaian.



"Tidak ada Konstitusi mengatur hal-hal detil, misalnya cara berpakaian, atau tidak boleh keluar di atas jam sekian. Itu tidak ada dalam Konstitusi. Itu pilihan-pilihan dalam keadaan tertentu saja," ujarnya.



Menurut Kalla, setelah adanya UU Otonomi khusus itu, pembuatan peraturan daerah atau qanun terkait syariah lebih banyak ditentukan oleh DPR Aceh.



"Masalah-masalah peraturan tentang syariah diputuskan oleh DPR Aceh," katanya.



Kalla juga mengatakan materi dan penerapan syariat Islam di Aceh tidak untuk warga non-Islam di wilayah itu.



"Hanya untuk yang beragama Islam saja," tandasnya.



Selain menyoroti penerapan syariat Islam, Kalla juga menjawab pertanyaan seputar Komisi kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh, kasus-kasus kekerasan yang melibatkan eks kombatan GAM.



"Sebenarnya ini selalu diupayakan, tapi kemudian juga ini butuh suatu kearifan kedua pihak. Karena apabila ada pengadilan (HAM) seperti itu, maka kemungkinannya -katakanlah- kedua belah pihak (GAM dan Indonesia) bisa kena. Artinya, pemerintah atau pihak mantan GAM juga bisa kena masalah," papar JK.



JK mengatakan ia berpengalaman di negara lain seperti Afrika Selatan. Forgive not forget.



"Jadi, masalahnya kadang-kadang kesulitan mencari bukti juga. Siapa yang mesti direkonsiliasi? Dan siapa yang mesti diadili? Belum tentu ada bukti-buktinya. 'Kan sudah lama sekali. Karena itu, apa yang terjadi di banyak negara, ya rekonsiliasi saja," tandasnya.



Sumber: BBC