Saturday, August 15, 2015

Gubernur Aceh Desak Jokowi Segera Bentuk KKR dan Pengadilan HAM di Aceh





Gubernur Aceh Zaini Abdullah meminta pemerintah pusat segera merealisasikan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan pengadilan HAM di Aceh.



Dilansir BBC, Zaini Abdullah mengutarakan hal itu dalam pidatonya saat doa bersama memperingati 10 tahun perdamaian Aceh di Masjid Baiturrahman, Banda Aceh, Sabtu (15/08) pagi.



“Tiga regulasi ini merupakan kewajiban pemerintah pusat,” kata Zaini.



Pembentukan KKR Aceh merupakan salah-satu butir kesepakatan perdamaian Helsinki, 2005 lalu.



Keberadaan KKR ini juga diatur dalam Undang-undang pemerintahan Aceh (UUPA).



Dua tahun lalu, DPR Aceh telah mengesahkan Qanun (peraturan daerah) KKR Aceh, tetapi pemerintah pusat menolaknya, karena belum ada UU KKR tingkat nasional.



Desakan pembentukan KKR telah disuarakan para pegiat HAM, karena selama ini masalah ini sepertinya telah dilupakan pemerintah pusat dan pemerintah Aceh.



Lebih lanjut, di hadapan sekitar 1.000 orang peserta doa bersama, Zaini kemudian menekankan: “Kita meminta pemerintah pusat agar menuntaskannya dalam waktu sesingkat-singkatnya.”



Dia mengatakan, apabila KKR Aceh dapat dibentuk, perdamaian Aceh dapat berjalan sempurna dan masyarakat puas dengan pencapaian yang ada.



“Insya Allah kita akan melobi bersama tim untuk memperjuangkannya kepada pemerintah pusat,” tandasnya.



PP minyak dan gas



Sebelum menyinggung soal KKR, dalam bagian lain pidatonya, Zaini Abdullah mengakui bahwa sebagian besar butir–butir perdamaian Helsinki sudah banyak dilaksanakan.



“Kita pantas berterima kasih pada komitmen tinggi yang diperlihatkan pemerintah pusat, lebih-lebih Presiden Jokowi dan Wapres Kalla, karena belum lama ini telah menerbitkan sejumlah regulasi penting yang merupakan turunan UUPA.



Menurutnya, regulasi itu merupakan substansi kesepakatan Helsinki dan UUPA yang “menjadi landasan hukum bagi kita di Aceh untuk kita bekerja”.



“Sehingga tidak ada simpang siur dan tidak ada bertentangan antara qanun di aceh dengan peraturan pemerintah pusat.



Dia kemudian mengungkapkan, pemerintah pusat telah mengeluarkan Peraturan pemerintah (PP) nomor 3 tahun 2015 tentang kewenangan pemerintah yang bersifat nasional di Aceh.



Kemudian, pemerintah pusat juga telah mengesahkan PP nomor 23 tahun 2015 tentang pengelolaan bersama minyak dan gas bumi di Aceh.



Dan lainnya, lanjutnya, Perpres nomor 23 tahun 2015 tentang pengalihan kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional aceh dan kantor perwakilan kota menjadi perangkat daerah.



Dalam bagian akhir pidatonya, Zaini membenarkan hubungan pemerintah Aceh dan pemerintah pusat masih diwarnai “dinamika”.



“Tapi dinamika itu bukan menganggu perdamaian, tapi justru untuk mematangkan perdamaian,” kata Zaini Abdullah.