Wednesday, July 29, 2015

Fatwa Haram, MUI: BPJS Kesehatan Menabrak Syariat Islam





Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memutuskan bahwa penyelenggaraan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tidak sesuai syariat (hukum Islam), menimbulkan polemik.



Namun MUI sebagai lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Tanah Air itu, tentu tidak serta-merta mengeluarkan fatwa tersebut.



Fatwa atau keputusan MUI itu dikeluarkan melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Sya’ban 1436 H, alias 7-10 Juni 2015.



Dari dokumen yang dimiliki JPNN.com, fatwa terkait BPJS Kesehatan ini tercantum di keputusan Komisi B 2, terkait masalah fikih kontemporer, tentang panduan jaminan kesehatan nasional dan BPJS Kesehatan.



Dalam keputusan itu dideskripsikan bahwa MUI memperhatikan program termasuk modus transaksional yang dilakukan oleh BPJS, khususnya BPJS Kesehatan, dari perspektif ekonomi Islam dan fiqh mu’amalah.



Dengan merujuk pada fatwa Dewan Syari’ah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan beberapa literatur, tampaknya bahwa secara umum program BPJS Kesehatan belum mencerminkan konsep ideal jaminan sosial dalam Islam.



Terlebih lagi jika dilihat dari hubungan hukum atau akad antar para pihak. Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran iuran untuk pekerja penerima upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan.



Denda tersebut dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh pemberi kerja. Sementara keterlambatan pembayaran iuran untuk peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan bersamaan dengan total iuran yang tertunggak.



Dari deskripsi tersebut, MUI kemudian merumuskan beberapa masalah yakni: apakah konsep dan praktik BPJS Kesehatan yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan telah memenuhi prinsip syariah?



Jika dipandang belum telah memenuhi prinsip syariah, apa solusi yang dapat diberikan agar BPJS Kesehatan tersebut dapat memenuhi prinsip syariah?



Apakah denda administratif sebesar 2% (dua persen) per bulan dari total iuran yang dikenakan kepada peserta akibat terlambat membayar iuran tidak bertentangan dengan prinsip syriah?



MUI kemudian mencatat ketentuan hukum dan rekomendasi. Pertama, penyelenggaraan jaminan sosial oleh BPJS Kesehatan, terutama yang terkait dengan akad antar para pihak, tidak sesuai dengan prinsip syari’ah, karena

mengandung unsur gharar, maisir dan riba.



Kedua, MUI mendorong pemerintah untuk membentuk, menyelenggarakan, dan melakukan pelayanan jaminan sosial berdasarkan prinsip syari’ah dan melakukan pelayanan prima.



Sebentar! Tak cukup sampai di situ, MUI juga punya dasar menetapkan hal yang bagi sebagian atau bahkan banyak pihak dianggap menghebohkan ini.




Dasar dari penetapannya antara lain berdasarkan firman Allah di QS. al-Baqarah: 275-280, Ali Imran [3]: 130, kemudian QS An Nisa': 36-39, QS Al-Baqarah: 177, kemudian QS At Taubah: 71, dan QS Al Maidah: 2.



MUI juga menetapkan ini berdasarkan dalil-dalil dalam hadits yang antara lain diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim.



Dari Ketua Bidang Fatwa MUI, KH Ma'ruf Amin saat dihubungi JPNN.com, Selasa (28/7) malam sudah membenarkan adanya fatwa tersebut. "Ya BPJS (Kesehatan) yang ada sekarang itu belum ada yang syariah, masih konvensional semua. Jadi memang harus ada BPJS yang diloloskan secara syariah," kata Ma'ruf.



MUI, kata Ma'ruf mendorong agar pemerintah segera merubah sistem BPJS Kesehatan syariah. Bahkan dia menggolongkan kondisi BPJS Kesehatan dalam kondisi darurat.



"Ya betul. Sesegera mungkin (bentuk yang syariah). Ya itulah, itu yang jadi darurat, karena wajib BPJS tapi sistemnya belum ada yang syariah," tuturnya. JPN